Dengan pesawat yang memiliki kecepatan tinggi, maka kita bisa sampai ke
tempat tujuan lebih cepat atau lebih lama dari waktu di tempat kira berangkat.
Terjadi perbedaan yang jauh, misalnya kita berangkat ke daerah yang lebih cepat
2 jam, kita berangkat jam 2 siang dengan lama perjalanan 2 jam, maka kita
sampai di tujuan sudah jam 6 sore dan sudah dekat waktu berbuka. Begitu juga
jika lebih lambat 2 jam, ia berangkat naik pesawat jam 4 dengan lama perjalanan
2 jama, maka ia sampai di tempat tujuan masih jam 4.
Apakah kita harus ikut
berbuka bersama penduduk di tempat tersebut atau kita menghitung lama puasa
dari tempat awalnya?
Berikut jawaban
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’ mengenai hal ini:
Ulama semuanya bersepakat (ijma’) bahwa puasa itu dari terbitnya mathari
sampai terbenamnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ
مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam hari
(terbenam)” (QS.
Al-Baqarah: 187)
Kemudian Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذا
أقبل الليل من ها هنا وأدبر النهار من ها هنا وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Jika telah datang malam dari sini
kemudian siang telah berlalu dan matahari sudah tenggelam, maka (ini waktu)
orang berpuasa berbuka.”
Dan bagi setiap orang yang berpuasa berlaku hukum di tempat ia berada.
Baik itu di puncak tertinggi bumi atau di atas pesawat di udara (berarti ia
ikut berbuka bersama penduduk di tenpat itu). Oleh karena itu bagi yang berbuka
di pesawat pada waktu di negeri asalnya dan ia tahu bahwa matahari belum
tenggelam, maka puasanya rusak karena ia berbuka sebelum tenggelamnya matahari
berdasarkan waktu asalnya. Maka ia wajib mengqadha puasanya.
(Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah no. 1402).
0 komentar:
Posting Komentar